Menurut Mahfud, seharusnya ada semacam sinkronisasi dari UU Penyiaran jika ingin politik hukum membaik.
Artinya, UU Penyiaran harus saling mendukung dengan UU Pers, UU Pidana, bukan dipetik berdasar kepentingan saja.
“Kembali, bagaimana political will kita, atau lebih tinggi lagi moral dan etika kita dalam berbangsa dan bernegara, atau kalau lebih tinggi lagi kalau orang beriman, bagaimana kita beragama, menggunakan agama itu untuk kebaikan, bernegara, dan berbangsa,” tegas Mahfud.
Sebelumnya diberitakan Kompas.tv, Dewan Pers dan seluruh komunitas pers menolak isi draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran.
RUU terebut dinilai bertentangan dengan Pasal 4 ayat 2 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu, dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Selasa 14 Mei 2024.
“Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” kata dia, dikutip dari laman resmi Dewan Pers.
RUU Penyairan tersebut merupakan inisiatif DPR yang direncanakan untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Ninik berpendapat jika nantinya RUU itu diberlakukan, tidak akan ada lagi independensi pers, dan pers menjadi tidak profesional. []
Tinggalkan Balasan