JAKARTA – Pernyataan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono saat ditanya awak media terkait kasus Pinangki kini menjadi bola panas bagi institusi kejaksaan. Pasalnya, dengan menyebut Pinangki sudah menyumbangkan BMW kepada negara membuat publik bertanya-tanya akan komitmen dan konsistensi pemberantasan korupsi di tubuh korps adhyaksa.
Seperti yang disampaikan pengamat kejaksaan, Fajar Trio yang menilai pernyataan Ali sebagai bukti adanya disparitas penegakan hukum pemberantasan kasus rasuah. Karena menurutnya, sangat wajar jika wartawan menyoroti aksi kejaksaan yang belum mengajukan kasasi terkait kasus eks jaksa Pinangki.
“Apalagi bisa dibilang Pinangki ini jaksa yang menjadi otak pelaku penyalahgunaan wewenang dan rela menjadi makelar kasus Djoktjan (Djoko Tjandra). Harusnya Jampidsus paham betul fungsi kontroling yang dilakukan wartawan dalam meliput sebuah berita,” ujar Fajar kepada wartawan, pada Kamis 24 Juni 2021.
Pendapatnya, sikap Ali bisa menyebabkan demoralisasi penegakan hukum para insan Kejaksaan. Apalagi ditambah dugaan terjadinya disparitas penegakan hukum. “Kejaksaan mengalami kemunduran keterbukaan informasi dan diduga melakukan disparitas penegakan hukum. Para jaksa yang menyidik dari awal kasus Pinangki bisa mengalami demoralisasi mendengar pernyataan tersebut,” katanya.
Fajar pun memberikan contoh kasus Jiwasraya dan Asabri. Ia menilai bahwa Kejaksaan maju paling depan dalam melakukan penyitaan aset para tersangka. “Kejaksaan seperti gagah betul saat memberikan keterangan telah menyita aset, padahal tidak ternyata sebagian ditengarai bukan milik terdakwa, hingga menuntut setinggi-tingginya hukuman kepada para terdakwa. Bahkan menyatakan telah memeriksa tukang loak dan IRT (ibu rumah tangga) saja begitu bangga. Berbeda dengan treatment yang diberikan ke Pinangki,” kata dia.
Ia pun mempertanyakan, ada apa dengan kasus Pinangki dan apa bedanya dengan kasus jaksa Urip. “Apa yang telah disembunyikan Kejaksaan dalam kasus Pinangki? Kok seperti ada bargaining position. Apakah dengan hanya diberi BMW sudah menjadi prestasi? Jaksa Agung harus ambil sikap tegas terhadap Ali. Kalau perlu copot!,” kata Fajar.
Sebagai penegak hukum, menurutnya pemikiran tersebut sangat dangkal dalam memberantas korupsi. “Apakah penegakan hukum hanya sebatas diberi BMW, sudah selesai itu barang? Ini ngeri sekali,” ujarnya.
Ia pun menyimpulkan jika kondisi ini berlarut, maka Kejaksaan Agung dipastikan sudah tidak murni lagi dalam melaksanakan tugas sebagai penegak hukum. “Membahayakan sekali jika Kejaksaan Agung yang dipimpin bapak ST Burhanuddin tidak lagi murni jadi alat negara yang melakukan penegakan hukum, dan malah alat kekuasaan dalam melakukan penegakan hukum.”katanya.
Jadi kesimpulannya, Jampidsus patut diduga telah menjadikan doktrin Tri Krama Adhyaksa hanya sekedar menjadi lip service belaka karena tindakannya sama sekali tidak mewakili doktrin kehormatan para jaksa itu.
Sementara, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar menyebut pernyataan Ali Mukartono yang dengan bangga telah melakukan penyitaan mobil BMW dari kasus Pinangki tersebut merupakan tindakan yang sesat dan memalukan.
“Saya kira ini pernyataan yang memalukan karena seolah-olah terkesan Pinangki sudah menyumbangkan sebuah mobil BMW kepada negara dan pikiran seperti ini sesat,” ujar Fickar.
Menurutnya, secara nyata Pinangki sudah jelas terbukti bersalah karena telah melakukan kejahatan. “Berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada negara, jadi bukan secara sukarela,” kata dia.
Fickar menyebut dalam kasus tersebut justru negara menderita kerugian yang tidak bernilai karena kehilangan sumberdaya manusia jaksa penuntut umum (SDM JPU) yang sudah dididik dan digaji oleh negara untuk melaksanakan tugas. “Namun, justru menjadi penjahatnya. Berapa biaya yang sudah dikeluarkan negara untuk mendidik dan menggaji terdakwa Pinangki selama ini tentu tidak pernah cukup kalau hanya dibayar dengan mobil BMW semata. Dan yang menjadi pertanyaan besar, mengapa hingga kini Pinangky masih ditahan di rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung?” tanya Fickar.
Ia menilai bahwa negara juga menderita kerugian immaterial. “Yaitu rasa malu yang besar karena tidak bisa mengendalikan aparaturnya melakukan kejahatan korupsi,” katanya.
Menurutnya, itulah yang seharusnya menjadi pemikiran seorang jaksa sebagai aparatur negara yang dibayar untuk melakukan penuntutan. “Termasuk kejahatan korupsi,” ujarnya.
Selain itu, Jampidsus juga mempertanyakan mengapa kasus Pinangki saja yang disoroti, padahal masih ada tersangka lainnya.
Sebelumnya, awak media mempertanyakan mengapa kejaksaan belum mengajukan kasasi terkait dengan vonis ringan eks jaksa Pinangki. Pihak kejaksaan pun mengatakan belum memutuskan mengajukan kasasi atas putusan banding terdakwa Pinangki karena masih menunggu salinan putusan dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Jampidsus Ali Mukartono justru mempertanyakan kepada awak media mengapa selalu mengejar pemberitaan soal Pinangki. Padahal menurutnya tersangka dalam kasus tersebut ada banyak, sehingga tidak harus berfokus pada Pinangki seorang. “Kenapa sih yang dikejar-kejar Pinangki, tersangka terkait itu ada banyak,” ujarnya.
Salah seorang wartawan pun menjelaskan, karena publik banyak yang membandingkan vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap Pinangki dengan hukuman yang diterima oleh Angelina Sondakh yang justru diperberat ditingkat kasasi. Juga membandingkan dengan seorang ibu di Aceh yang ditahan bersama anaknya karena tersangkut kasus Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Namun, Ali justru menyebut bahwa kasus Pinangki berbeda dengan perkara lainnya. Ia menyebutkan, putusan pengadilan sudah jelas, dan pihaknya menghormati apa yang menjadi keputusan hakim. “Sudah jelas putusan pengadilan, iya kan!. Tersangka kita tunggu yang lain, masih banyak tersangka, itu satu ke satuan,” kata dia.
Jampidsus itu pun menyinggung dalam perkara Pinangki negara mendapatkan mobil, berbeda dengan pengusutan aset tersangka lain yang kesulitan untuk dilacak. “Malah dari Pinangki, negara dapat mobil. Yang lain kan susah ngelacaknya itu,” kata Ali.
Tinggalkan Balasan