JAKARTA, Eranasional.com – Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan terjadi tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp700 triliun.

“Indonesia ini terlalu banyak yang dikorupsi, jadi pertumbuhan ekonominya tidak pernah maksimal,” kata Mahfud, Jumat, 22 Desember 2023.

Menurut cawapres nomor urut tiga ini, tren pertumbuhan ekonomi suatu negara berbasis pada empat sektor, yakni belanja pemerintah, konsumsi masyarakat, ekspor dan impor, serta digitalisasi.

Masalahnya, lanjut Mahfud, di keempat sektor itu terlalu banyak korupsi.

Dia kemudian mengungkapkan data perkara korupsi dan TPPU yang ditangani jajarannya selama empat tahun terakhir.

“Kasus korupsi dan pencucian uang yang saya tangani dalam empat tahun terakhir sebagai Menkopolhukam senilai Rp 700-an triliun,” ungkap Mahfud.

Adapun kasus-kasus korupsi yang dimaksud Mahfud yakni hak tagih skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang macet selama 22 tahun, mafia tanah, dana investasi di Asabri, penyanderaan 126 kapal pengangkut batu bara, hingga dugaan pencucian uang di lingkungan Kementerian Keuangan senilai Rp346 triliun.

“Teori apa pun yang Anda pakai, kalau tidak mampu memberantas korupsi atau sekurang-kurangnya menghentikan korupsi dari waktu ke waktu, pertumbuhan ekonomi tidak akan pernah maksimal,” ujarnya.

Mahfud kemudian merujuk pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang secara berkala dilansir Transparency International Indonesia (TII), korupsi masih selalu menjadi tantangan serius di Indonesia.

Dipaparkannya, pada 2022, peringkat IPK Indonesia merosot 4 poin dibanding setahun sebelumnya dan menempati peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei oleh Transparency International (TI).

Kata Mahfud lagi, karena terganjal kasus-kasus korupsi menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan, sehingga berdampak pada besarnya ketimpangan, terutama antara di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Padahal, kata dia, seluruh penjuru Indonesia punya hak yang sama atas pembangunan, kesejahteraan, dan kemajuan.

“Perbedaan lokasi geografis, suku, dan budaya, tidak boleh melahirkan perbedaan akses terhadap pembangunan dan kesejahteraan,” tegas Mahfud.

Menurut Mahfud, kondisi saat ini belum mencerminkan hadirnya kesetaraan dan pemerataan ekonomi di seluruh Indonesia. Misal, 80 persen pertumbuhan ekonomi masih disumbang dari wilayah barat Indonesia, dengan 57 persen berpusat di Pulau Jawa. Tanpa ada korupsi, Mahfud menyakini ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih dari 6 persen per tahun.

Beragam strategi untuk mewujudkan pemerataan ekonomi ke seluruh Indonesia bisa diwujudkan, ketika korupsi bisa dibasmi.

“Potensi ekonomi kita untuk tumbuh lebih dari 6 persen setiap tahun itu sangat mungkin, memakai hitung-hitungan antara perbandingan sumber daya alam dan sumber daya manusia jika dikelola dengan baik,” jelas Mahfud.

Mahfud kembali menegaskan, nominal dugaan korupsi dan TPPU sebesar Rp700-an triliun, seharusnya bisa untuk membangun lebih dari 80.000 puskesmas se-Indonesia.

Angka yang sama bisa juga dipakai untuk beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa hingga tiga kali lipat alokasi di APBN 2023.

Bagaimanapun, ujar dia, perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan modal mendasar bagi Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan melalui potensi-potensi ekonomi yang ada. Tanpa korupsi, pembenahan infrastruktur terutama terkait konektivitas wilayah juga memungkinkan untuk digenjot.

Nominal Rp700-an triliun terkait dugaan korupsi dan TPPU itu pun semestinya bisa mendongkrak anggaran infrastruktur hingga hampir dua kali lipat pada alokasi APBN 2023.

Hal serupa berlaku pula untuk perbaikan iklim investasi dan kemudahan berusaha (ease of doing business atau EODB), yang ujungnya adalah pemerataan kesejahteraan.

“Syaratnya, penegakan hukum yang kuat. Ini harus jadi komitmen,” tegas Mahfud.

Mahfud mengatakan, jaminan penegakan hukum akan melindungi hak milik, mencegah korupsi, dan dapat menarik investasi. Negara dengan penegakan hukum yang baik akan lebih memberikan kepastian hukum dan tingkat risiko yang rendah.

“Bisnis dan investasi itu rentan terhadap perubahan hukum yang tidak konsisten apalagi sewenang-wenang, yang rawan penyalahgunaan kepentingan dan rentan praktik suap,” pungkas Mahfud. (*)