Akhirnya, pada medio tahun 2017, Pengadilan Negeri Cibinong mengirimkan surat yang ditujukan pada Fajar Hidayah, namun dikirimkan ke kelurahan dan bukan ke Sekolah Fajar Hidayah yang jaraknya hanya beberapa meter atau lima menit dari kantor kelurahan tersebut, sehingga Fajar Hidayah tidak mengetahui perihal surat pemanggilan yang sudah dikirim sebanyak empat kali.

Akibatnya, perkara tersebut disidangkan, diputuskan, dan langsung inkracht, tanpa sepengetahuan dan kehadiran pihak Fajar hidayah.

Setelah dinyatakan inkracht, secara sepihak Pengadilan Negeri Cibinong melelang kedua bangunan rumah yang sebenarnya bukan milik Fajar Hidayah, namun milik pribadi Ketua dan Pembina Yayasan Fajar Hidayah, yang yang menjadi tempat tinggal anak-anak yatim saat ini.

“Padahal, yang menjadi objek perkara adalah bangunan sarana pendidikan Fajar Hidayah di Kota Deltamas Bekasi, namun yang dijadikan tereksekusi adalah pribadi-pribadi, dan yang disita kemudian dilelang adalah dua bangunan rumah milik pribadi-pribadi,” terang Mirdas.

Padahal, pada saat yang bersamaan, Fajar Hidayah masih melakukan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek yang masih diperiksa di Mahkamah Agung (MA). Dengan demikian, Pengadilan Negeri Cibinong telah melanggar hak-hak hukum Fajar Hidayah dalam melakukan upaya hukum perlawanan atas putusan verstek.

“Luar biasanya, kedua bangunan rumah yang ditempati anak-anak yatim tersebut telah beralih kepemilikan atas nama Henricus Samodra, sebagai pemenang lelag,” kata Mirdas

Dalam surat pemberitahuan eksekusi tertera ‘Tanah berikut bangunan berdasarkan Sertifikat Hak Guna bangunan No.6021/Ciangsana, Surat Ukur No.111/Ciangsana/2007 Tgl 28-02-2017, luas 240 m2, nama pemegang hak: HENRICUS SAMODRA, yang terletak di Perumahan Kota Wisata Cluster Amsterdam 111 No.31 Kel. Ciangsana Kec. Gunung Putri Kab. Bogor

Penjelasan juru sita

Di sisi lain, Iman Hanafi, Juru Sita dari Pengadilan Negeri Cibinong, mengatakan eksekusi dilakukan berdasarkan keputusan PN Cibinong  Nomor Perkara  151/Pdt.G/2017.PN Cbi, yang dikeluarkan pada Rabu, 27 September 2017.

Baca juga: Anies Temui dan Duduk Bareng Massa Buruh, Politisi Demokrat: Lebih Manusiawi daripada Menemui Bebek

“Berdasarkan keputusan ini maka telah dikeluarkan penetapan No. 36/Pen.Pdt/Lelang.Eks/2017/PN.Cbi. Jo. No. 151/Pdt.G/2017/PN.Cbi tanggal 16 Januari 2020,” ujarnya.

Penetapan ini memerintahkan bahwa rumah yang beralamat di kota Wisata Amsterdam I 11 No. 31,32,33, Kel Ciangsana, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor disita dan dilelang di muka umum.

Hasilnya lelang diserahkan guna  membayar pelunasan hutang ke Penggugat (Abdul syukur) sesuai Putusan pengadilan.

Meridas Eka Yora dan istrinya Puti Draga Rangkuti (Tergugat) lalu mengajukan Banding. Putusan banding yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung Nomor Perkara 440/PDT/2018/PT BDG, yang dikeluarkan pada Kamis, 15 Nopember 2018, yg isinya menolak permohonan banding Tergugat.

Tergugat kemudian mengajukan Kasasi. Putusan kasasi yang dikeluarkan Pengadilan Kasasi Nomor Perkara 2145/K/Pdt/2019, yang dikeluarkan pada  Senin, 26 Agustus 2019, juga menolak permohonan kasasi tergugat.

Belum puas dengan keputusan Kasasi, pihak Tergugat kemudian mengajukan Peninjauan Kembali.

Putusan Peninjauan Kembali Nomor Perkara 584 PK/PDT/2020 pun menolak permohonan Peninjauan Kembali tergugat.

“Dengan ditolaknya peninjauan kembali tersebut maka putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap/Inkrah,” tegas Hanafi.

Setelah peninjauan kembali ditolak, Tergugat kemudian mengajukan permohonan penundaan objek sengketa atau penundaan eksekusi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Putusan PTUN Nomor Perkara 112/PLW/2019/PTUN.BDG, tanggal Kamis, 02 Januari 2020 pun menolak permohonan Tergugat.

Dengan demikian seluruh proses hukum telah dilewati dalam perkara ini, dan keputusan pengadilan tingkat pertama di PN Cibinong tetap diakui dan harus dilaksanakan.

“Karena semua proses hukum telah dilalui, proses eksekusi pun kemudian dilaksanakan oleh tim Juru sita  PN Cibinong,” pungkas Hanafi.

Sengketa lahan dan bangunan itu berawal pada tahun 2000-an

Saat itu, sekolah Fajar Hidayah mulai membangun,  datanglah seorang pekerja bangunan bernama Abdul Syukur yang meminta pekerjaan sebagai tukang. Setelah diterima dan pekerjaannya baik, Syukur akhirnya ‘naik pangkat’. menjadi mandor, kemudian sub-kontraktor dan kemudian menjadi kontraktor.

Pada tahun 2006, Yayasan Fajar Hidayah membangun sebuah masjid di Kota Deltamas, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dengan Abdul Syukur sebagai pemborong. Namun, masjid yang baru dibangun tersebut roboh total, yang disinyalir dibangun tidak sesuai dengan standar atau ada malpraktik saat membangun.

Hancurnya masjid tersebut belum dituntut oleh Fajar Hidayah, namun malah didatangi oleh debt collector dari supplier baja. Setelah diusut, ternyata Abdul Syukur sebagai pemborong belum membayar bahan bangunan yang diambilnya. Padahal, pihak Yayasan Fajar Hidayah sudah membayar lunas proyek senilai Rp1.731.228.963 itu kepada Abdul Syukur, yang kebetulan saat itu lagi mencalonkan diri sebagai Kades di Babakan Madang dan kalah,” cerita Mirdas.

Menurut Mirdas, pihak suplier akhirnya melaporkan Syukur ke Polisi dan berujung pada penahanannya.

Istri Abdul Syukur dalam keadaan memprihatinkan datang ke Fajar Hidayah untuk meminta pertolongan. Setelah demikianpun Fajar Hidayah masih mau membantu.

Namun, setelah keluar dari penjara, Abdul Syukur malah mendatangi Fajar Hidayah dengan membawa supplier dan menuding Fajar Hidayah masih menunggak utang senilai Rp2,3 miliar.

Tak terima dengan tuduhan tersebut, Fajar Hidayah membawa perkara tersebut ke Polres dan dilakukan audit oleh auditor independen yang ditunjuk oleh Polres setempat.

Dari hasil audit keseluruhan proyek yang pernah dikerjakan Abdul Syukur, terbukti Fajar Hidayah telah membayar Rp3,7 miliar, yang bukan hanya lunas, bahkan sedemikan rupa berlebih bayar hingga 300 juta.

“Walau keadaan sudah demikian, pekerjaan Abdul Syukur tidak sempurna, sudah dibantu malah difitnah menunggak, Fajar Hidayah masih tetap tidak menuntut,” katanya.

Kemudian secara diam-diam, Abdul Syukur tetap memperkarakannya dengan tuduhan pihak Fajar Hidayah belum melakukan pembayaran.

Akhirnya, pada medio tahun 2017, Pengadilan Negeri Cibinong mengirimkan surat yang ditujukan pada Fajar Hidayah, namun dikirimkan ke kelurahan dan bukan ke Sekolah Fajar Hidayah yang jaraknya hanya beberapa meter atau lima menit dari kantor kelurahan tersebut, sehingga  Fajar Hidayah tidak mengetahui perihal surat pemanggilan yang sudah dikirim sebanyak empat kali.

Akibatnya, perkara tersebut disidangkan, diputuskan, dan langsung inkracht, tanpa sepengetahuan dan kehadiran pihak Fajar hidayah.

Setelah dinyatakan inkracht, secara sepihak Pengadilan Negeri Cibinong melelang kedua bangunan rumah yang sebenarnya bukan milik Fajar Hidayah, namun milik pribadi Ketua dan Pembina Yayasan Fajar Hidayah, yang yang menjadi tempat tinggal anak-anak yatim saat ini.

“Padahal, yang menjadi objek perkara adalah bangunan sarana pendidikan Fajar Hidayah di Kota Deltamas Bekasi, namun yang dijadikan tereksekusi adalah pribadi-pribadi, dan yang disita kemudian dilelang adalah dua bangunan rumah milik pribadi-pribadi,” terang Mirdas.

Padahal, pada saat yang bersamaan, Fajar Hidayah masih melakukan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek yang masih diperiksa di Mahkamah Agung (MA). Dengan demikian, Pengadilan Negeri Cibinong telah melanggar hak-hak hukum Fajar Hidayah dalam melakukan upaya hukum perlawanan atas putusan verstek.

“Luar biasanya, kedua bangunan rumah yang ditempati anak-anak yatim tersebut telah beralih kepemilikan atas nama Henricus Samodra, sebagai pemenang lelag,” kata Mirdas

Dalam surat pemberitahuan eksekusi tertera ‘Tanah berikut bangunan berdasarkan Sertifikat Hak Guna bangunan No.6021/Ciangsana, Surat Ukur No.111/Ciangsana/2007 Tgl 28-02-2017, luas 240 m2, nama pemegang hak: HENRICUS SAMODRA, yang terletak di Perumahan Kota Wisata Cluster Amsterdam 111 No.31 Kel. Ciangsana Kec. Gunung Putri Kab. Bogor