Meski mendekam di balik jeruji besi, ternyata Freddy masih bisa mengendalikan bisnis narkoba. Dia terbukti mengorganisir penyelundupan 1.412.476 butir ekstasi dari China pada Mei 2012. Perbuatan inilah yang mengantarnya pada pidana mati pada Juli 2016.
Sebelum dieksekusi mati, Freddy Budiman mengungkapkan adanya keterlibatan oknum Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, dan Bea Cukai dalam peredaran narkoba yang dilakukannya. Cerita tersebut disampaikan kepada Koordinator Kontras saat itu, Haris Azhar.
Haris mengatakan, pengakuan Freddy didapat saat dirinya memperoleh undangan dari salah satu organisasi gereja yang aktif memberikan pendampingan rohani di LP Nusakambangan. Menurut Haris, Freddy mengaku hanyalah operator penyelundupan narkoba skala besar.
Saat akan mengimpor, Freddy menghubungi berbagai pihak untuk mengatur kedatangan narkoba dari China.
“Kalau saya mau selundupkan narkoba, saya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang yang saya hubungin itu semuanya titip harga,” kata Haris menirukan perkataan Freddy Budiman kala itu.
Freddy pun membeberkan harga narkoba yang dibeli dari China sebesar Rp5.000. Oleh karena itu, dirinya tak menolak jika ada titipan harga atau pihak yang mengambil keuntungan penjualan. Oknum tersebut meminta keuntungan dari Rp10.000 hingga Rp30.000 per butir.
“Karena saya bisa dapat 200.000 per butir. Jadi kalau hanya bagi rezeki Rp10.000-30.000 ke masing-masing pihak dalam institusi tertentu, itu tidak masalah. Saya hanya butuh Rp10 miliar barang saya datang,” ucap Haris, menirukan perkataan Freddy lagi.
“Dari keuntungan penjualan saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu,” sambungnya.
Tinggalkan Balasan