Kemudian investor juga harus memenuhi persyaratan investasi  izin khusus. Menanggapi pelanggaran aturan investasi alkohol, ekonom Indef Bhima Yudhistira memperkirakan dampaknya terhadap perekonomian masyarakat di daerah sasaran investasi sebenarnya kecil.

Namun, dampak negatifnya akan semakin besar di masa mendatang karena penjualannya diharapkan dapat diarahkan ke seluruh Indonesia. Apalagi, cukai minuman beralkohol relatif kecil.

Kementerian Keuangan mencatat, kontribusi pajak dari minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sebesar Rp 250 miliar atau minus 15,18 persen per tahun (y / y) mulai Januari 2021.

“Meskipun basis produksinya di beberapa daerah, tentu penjualannya sulit diatur hanya di daerah tersebut. Pastinya pertimbangan investor adalah pasar minuman beralkohol dalam negeri,” tuturnya dikutip dari CNNIndonesia.com.

Bhima juga menilai kebijakan ini tidak sejalan dengan rencana pengembangan investasi halal pemerintah.

Ia memperkirakan dalam jangka panjang, kebijakan ini juga akan mengancam kesehatan masyarakat dan menimbulkan keresahan sosial, terutama jika masyarakat menolak berinvestasi pada minuman beralkohol.

Karena itu, dia meminta pemerintah mempertimbangkan untuk mengubah peraturan tersebut. Secara keseluruhan, dia menilai investasi itu lebih negatif daripada positif.

“Banyak sektor yang bisa dikembangkan selain industri minuman beralkohol. Kalau hanya punya dampak ke tenaga kerja, sektor pertanian dan pengembangan agro industri harusnya yang dipacu,” tandasnya. (red)