Jakarta- Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa sejak awal langkah penanggulangan atas serangan Covid-19 sudah mengundang pro dan kontra, bukan hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Berbagai negara kewalahan, tampak panik dan gagap, termasuk negara-negara yang dianggap mempunyai sistem kesehatan yang baik, seperti USA, Inggris, Jerman, Italia, Spanyol.
Hal itu disampaikan Mahfud saat menjadi keynote speaker pada Webinar yang bertajuk ‘Menguji Konsistensi Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19 Terhadap UUD 1945,’ yang diselenggarakan oleh Masjid Kampus UGM Sabtu malam (13/11).
Mahfud menyampaikan pidatonya itu melalui virtual dari Jayapura selepas Penutupan Peparnas XVI oleh Presiden. Selain dihadiri oleh Rektor UGM, webinar itu juga menghadirkan tiga pakar hukum sebagai narasumber yakni Maria Farida Indrati dari UI, Zainal Arifin Mochtar dari UGM, dan Mudzakkir dari UII.
Konstitusional Perppu
Kontroversi penanganan Covid-19 di Indonesia, kata Mahfud, sudah muncul sejak awal, terutama ketika Pemerintah mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2020. Pada waktu itu ada tudingan bahwa Perppu itu dibuat untuk mengkorupsi dan menggarong keuangan negara dengan menggunakan hukum. Padahal alasan pemerintah waktu itu jelas untuk menangani pandemi Covid-19 secara konsisten terhadap UUD 1945.
“Menurut hukum keuangan, Pemerintah bisa dianggap melanggar UU jika belanja APBN mengalami defisit anggaran lebih dari tiga persen dari PDB. Nah, waktu itu untuk
menanggulangi Covid-19 diperkirakan akan terjadi defisit lebih dari tiga persen, sehingga untuk melakukan tindakan cepat, Pemerintah membuat Perppu,” kata Mahfud.
Ternyata, tambah mantan Ketua MK tersebut, DPR menyetujui Perppu tersebut menjadi UU No. 2 Tahun 2020, dan setelah diuji UU tersebut dibenarkan oleh MK. Malah, MK memperkuat frasa yang ada di Pasal 27 ayat (2) bahwa pejabat dianggap tidak melanggar hukum jika menggunakan anggaran dengan besaran apa pun ‘selama dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.’ Oleh MK, frasa tersebut dikuatkan ke Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) sebagai ‘conditionally constitutional.’
Menkopolhukam, yang juga pernah menjadi Menhan itu, menegaskan bahwa pemerintah sama sekali tidak anti kritik. Tapi jika pemerintah menjawab kritik untuk membanding pendapat dan data, maka jangan dicap anti kritik.
“Di negara demokrasi itu menjawab kritik dan mengadu logika, adalah bagian dari mujadalah, mencari kebenaran. Silahkan kritik, dan izinkan yang dikritik menjawab dan mengkritik balik”, tandasnya.
Teror dan Horor Memcekam
Mahfud MD juga menjelaskan, bahwa situasi mencekam pada paruh pertama 2020 itu, telah mendorong Presiden untuk mengajak peran serta masyarakat, untuk menanggulangi Covid-19 tersebut, dengan solidaritas sosial, tenang, dan kreatif.
“Waktu itu, masyarakat seperti terteror dengan horor Covid. Alat kesehatan tidak ada, masker hilang dari pasar karena ditimbun oleh pedagang gelap dan dijual dengan harga puluhan kali lipat, rumah sakit banyak yang menolak pasien Covid-19 karena jika pernah menerima pasien Covid bisa dijauhi orang,” tambah dia
Ia menjelaskan orang terkena Covid dianggap aib dan membahayakan, sehingga dijauhi dan dijauhkan bukan hanya dari masyarakat tapi juga dari keluarganya. Di masyarakat terjadi pengambilan paksa jenazah, baik di rumah sakit maupun di tempat pemakaman. Obat tidak ada, alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan juga tidak memadai.
“Pemerintah berebutan dengan negara-negara besar yang juga panik, untuk membeli APD dan obat-obatan. Kontroversi antar dokter, antar ahli agama, antar sosiolog juga semakin membuat masyarakat panik”, tambah Manfud.
Dalam situasi seperti itulah Presiden berseru, ayo bangkit, tenang, berusaha secara kreatif untuk saling bantu menanggulangi Covid-19. Perguruan tinggi diminta melakukan penelitian, membuat vaksin, obat, dan APD. Atas seruan Presiden itu, muncullah kegiatan industri masker di berbagai daerah, muncul obat-obatan tradisional seperti minuman pokak dari Jatim, ramuan telor-jahe, obat sedot antivirus, dan sebagainya.
Bermunculan pula hasil penelitian kreatif dari berbagai kampus. Dari UGM, misalnya, lahir G-Nose, dan dari Unair lahir lima racikan obat untuk mengobati Covid-19 sesuai dengan tingkat komplikasinya.
Dalam situasi itulah banyak kelompok masyarakat merespons seruan DPR, termasuk Luhut Binsar Pandjaitan dan Erick Thohir yang ikut mendirikan PT Genomik Solidaritas Indonesia (SGI).
Semula LBP, Erick Thohir dan kawan-kawan membentuk sebuah Yayasan untuk membantu masyarakat dalam pengadaan obat dan alat test Covid. Yayasan tersebut mendirikan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang, antara lain, melakukan pengadaan PCR yang distribusinya ada yang berbayar dan ada yang digratiskan.
“Saya tak bermaksud membela LBP dan Erick, saya hanya menjelaskan konteks kebutuhan ketika dulu kita diteror dan dihoror oleh Covid-19, dan ada kebutuhan gerakan masif untuk mencari alat test dan obat. Silakan terus diteliti, dihitung, dan diaudit. Masyarakat juga punya hak untuk mengkritisi. Nanti akan terlihat kebenarannya”, ujar Mahfud dalam webinar yang dihadiri oleh Rektor dan beberapa guru besar UGM itu.
Sekarang, lanjut kata dia sudah bisa bernafas lega dan bersyukur, bahwa selain sudah konstitusional, kebijakan dan langkah Pemerintah dalam menghadapi Covid-19 juga cukup efektif. Di dunia internasional, penanganan Covid-19 di Indonesia dinilai termasuk yang terbaik.
“Meski begitu kita harus tetap waspada dan selalu mengikuti prokes, sampai nanti benar-benar aman. Jangan lengah, jangan lalai,” tandas tokoh yang merupakan orang sipil pertama yang menjabat Menko Polhukam itu.
Tinggalkan Balasan